Sebuah Perayaan ‘Kini Kamis Berusia 17 Tahun’
Foto dan Teks: Hizqil Fadl Rohman/Suaka
Bekas hujan masih basah di sepanjang jalan Kota Bandung, tapi langkah kaki Wanggi Hoed, seniman pantomim masih terus bergerak berjalan mundur. Cat putih di wajahnya tidak luntur meski telah berjalan sejauh dua kilometer, melakukan aksi. Mulutnya terdiam, tangannya menggenggam sebuah papan seukuran raket tenis meja atau bet, bertuliskan “17 Tahun Aksi Kamisan, Salam Juang!”, dibalik tulisan itu, terdapat tulisan lain bernada,“Hidup Korban! Jangan Diam!”.
Sudah dua kilomoter ia berjalan, perjalanan dari Gedung Indonesia Menggugat hingga pelataran Gedung Sate ia susuri setapak demi setapak, menjadi saksi bisu dimana Wanggi akan bersua dan berjuang bersama kawan solidaritas akar rumput dari Aksi Kamisan Bandung.
Aksi Kamisan pertama kali digelar di Jakarta, 18 Januari 2007 oleh keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka berdiri berpayung hitam di depan istana negara menuntut pertanggungjawaban negara menuntaskan kasus pelanggaran-pelanggaran HAM. Namun hingga kini setelah 17 tahun, tuntutan itu tak kunjung dipenuhi. Dan kini perjuangan itu menjalar dan mengakar hingga ke berbagai daerah di tanah air termasuk kota Bandung.
Pria bermuka putih susu yang akrab disapa Wanggi Hoed ini mengemukakan gagasannya melalui olah rasa, suatu tindakan dari aksi yang berbeda namun menyuarakan nilai yang sama. Perihal gerakan mundur akan syarat, menandakan kemunduran demokrasi yang terjadi saat ini.
Sesampainya di pelataran Gedung Sate, Wanggi menyapa hangat kawan solidaritas juga menampilkan teatrikal olah rasa-nya. Sebuah kain ia bentangkan, selangkah demi selangkah, pelan nan mendayu.
Sore itu, payung dan pengeras suara turut andil mengambil bagian. Bersamanya, Wanggi berlari, mengintari pelataran dengan pergerakan yang khas menghampiri massa satu persatu yang kini terdiam membisu. Kemudian, sepersekian detik, payung dan pengeras suara beralih, kepada setiap individu sebagai arti bahwa pergerakan organik yang diorganisir oleh akar rumput ini harus senantiasa beregenerasi nan lestari.
“Kita juga harus memberikan energi yang sama walaupun ritmenya berbeda, caranya berbeda, polanya berbeda, jadi harus diestafetkan.” ungkap Wanggi.
Wanggi menyadari dalam aksinya, ada suatu hal yang harus disampaikan kepada masyarakat, perihal fenomena yang terjadi saat ini, Aksi Kamisan sudah memasuki usia remaja, berbagai aspirasi turut disampaikan namun sampai saat ini masih belum menemukan titik terang. Perjuangan masih panjang. Sebab, orang silih berganti, aksi kamisan tetap berdiri.
Redaktur Foto: Nur Ainun/Suaka
Leave a comment