Gedung Student Center Lt.3 No.15 Kampus UIN SGD Bandung. Jln, A.H Nasution No.105, Cibiru-Bandung, Bandung LPM SUAKA UIN SGD Bandung © 2023

Merawat Asa Menggadai Jasa di Jantung Kota Yogyakarta

Merawat Asa Menggadai Jasa di Jantung Kota

Foto dan Teks: Nur Ainun/Suaka

“Mari mbak, biar dibantu bawa barang-barangnya,” suara lirih itu saling bersahutan di tengah hiruk pikuk Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Puluhan wanita tangguh pejuang rupiah, berdiri di berbagai sudut pasar. Mereka siap menawarkan jasa gendong barang kepada para pengunjung pasar.

Memulai aktivitas dari pagi hingga sore hari, para buruh gendong menyusuri lorong-lorong, menapaki sudut pasar hingga turun naik anak tangga. Buruh gendong dari beragam usia saban hari hilir mudik menyandang setumpuk barang, menggunakan kain lurik atau srumbung yang dililitkan ke tubuh mereka untuk menahan beban hingga puluhan kilo.

Wanita-wanita tangguh ini, rata-rata sudah memasuki usia yang tidak lagi muda. umurnya berkisar 40 hingga 80 tahun. Napas mereka yang terengah-engah ketika mengangkat beban, tidak menyurutkan semangat mengais rezeki. Beras, kacang, gula aren, bawang, sayur mayur, pakaian, hingga barang belanjaan lainnya pun sanggup mereka ‘gendong’ di atas punggung. Berjalan bungkuk, beradu dengan kecepatan langkah kaki para pengguna jasanya.

 

Dengan upah seikhlasnya, mereka bisa menghasilkan uang mulai dari 20 ribu hingga 50 ribu rupiah dalam sehari, “Upah yo ndak nentu, seikhlasnya saja mbak, tadi mbah gendong lilin batang sama kacang dari lantai tiga ke lantai satu, alhamdulillah dikasi 15 ribu sama ibunya,” ujar Wagiyem (73), salah satu buruh gendong yang telah 47 tahun menggeluti pekerjaan ini.

Mayoritas buruh gendong berasal dari Kabupaten Kulon Progo. Jaraknya sekitar 43 km dari pusat kota, mereka harus melaluinya selama 2 jam menggunakan bis, untuk sampai ke Kota Yogyakarta. Dengan biaya yang tidak gratis, memaksa para buruh memutar otak agar memperoleh pendapatan yang cukup untuk biaya makan, transportasi dan lain-lain. Tak jarang para buruh memilih untuk tidak pulang, tidur di depan pasar beralaskan tikar dan kardus sering menjadi pilihan. Menunggu hari esok, untuk kembali menjemput rezeki, menambah pendapatan hari sebelumnya.

Seperti yang dialami Pariem (67), wanita paruh baya yang menggantukan hidup sebagai buruh gendong. “Sekarang susah mbak,” ia bercerita. “Ini sehari baru dapat 20 ribu. Kalau cuma segini yo ndak pulang, pulangnya besok sore. Malam ini nginap di depan pasar, jadi dua hari sekali pulangnya.” tukasnya, menutup percakapan sembari mengusap bulir-bulir keringat di wajahnya.

Himpitan ekonomi dan keperluan keluarga yang harus dipenuhi memaksa mereka mengamini pekerjaan berat ini selama berpuluh tahun, sebagai solusi untuk membiayai keperluaan sehari-hari. Meski berat, para buruh gendong seakan mengabaikan beban yang dipikulnya. Dibayar dengan upah yang tidak seberapa, namun mengorbankan kesehatan. Hal tersebut mau tidak mau mereka jalani demi bertahan hidup dan keluarga.




Leave a comment