The Commuter
Foto dan teks: M. Ardio Nauly/Suaka
Setiap pagi, perjuanganku dimulai lebih awal dari rumah di Cimahi. Aku harus segera berangkat menuju halte bus yang terbengkalai, dengan atap bocor saat hujan, kursi yang rusak, dan lampu jalan yang sering mati di pagi buta. Halte ini adalah satu-satunya titik keberangkatan terdekat menuju kampus di Cibiru.
Ketidakpastian waktu menjadi tantangan tersendiri. Dengan jadwal bus yang tidak jelas, menunggu lebih lama dari yang direncanakan sudah menjadi kebiasaan. Tiga jenis bus yang melayani Bandung sebenarnya tersedia: Damri, Trans Metro Bandung (TMB), dan Trans Metro Bandung (TMP). Namun, pilihan tersebut sering kali tidak terjangkau dari halte ini atau jarang beroperasi ke area kampus.
Di sisi lain, Perjalanan dari Cimahi ke Cibiru yang berjarak sekitar 25-30 kilometer bisa memakan waktu antara 1 hingga 1,5 jam, bahkan lebih pada hari-hari tertentu. Kemacetan di Bandung memang menjadi masalah serius, terutama di jam-jam sibuk. Data tahun 2023 menunjukkan bahwa Bandung adalah salah satu kota dengan kemacetan terpadat di Indonesia.
Meskipun perjalanan terasa panjang dan melelahkan, rasa syukur selalu mengalir saat akhirnya tiba di kampus. Setiap hari adalah ujian ketahanan; meski tubuh lelah dan pikiran sering terganggu oleh risiko kehilangan absen karena keterlambatan, aku tetap yakin bahwa pendidikan adalah tujuan yang layak diperjuangkan.
Saat waktu pulang tiba, perjuangan kembali terulang. Tak jarang aku sampai di rumah saat malam telah larut, diselimuti rasa lelah. Kondisi transportasi publik kota ini memang menguji kesabaran dan kekuatan tekadku. Namun, aku percaya setiap langkah dalam perjuangan ini akan membawaku semakin dekat kepada hal-hal baik di masa depan.
Redaktur: Afina Naqiyya Salsabila/Suaka
Leave a comment